Rational Use of
Medicine (RUM) atau Rational Use of Drugs (RUD), ada yang familiar dengan
istilah ini? Saya pribadi sebagai seorang dokter tentunya familiar, tapi baru
tahu kalo disingkat2 RUM sama RUD saat saya menjadi seorang ibu dan bergabung
dengan sebuah milis yang isinya ibu2 semua, eh ada juga sih bapaknya tapi
jarang….
Ternyata sekarang tren
orangtua2 muda adalah mencari dokter yang RUM. Agak asing buat saya, karena
selama ini pengalaman jadi dokter praktik ya di Puskesmas terpencil, pasien2
saya waktu itu boro2 mikirin RUM, dateng ke Puskes dalam keadaan bersih kinclong aja jarang…..(but it’s
another story , pemirsah).
Sebenernya, logically,
dokter ya harus RUM. Waktu
kuliah diajarin kok bahwa penggunaan obat harus rasional. Rasanya nggak masuk
di akal deh, kalo sekolah kedokteran yang memakan waktu total 6-8 tahun itu
nggak diajarin ilmu RUM sama sekali. Jadi kenapa pada praktiknya masih banyak
dokter yang kasih resep seenaknya? Sudah tahu disebabkan virus, kok ya masih
diresepkan antibiotik. Sudah tahu bisa sembuh sendiri, kok ya harus dan wajib
dibekelin obat?
Banyak yang
menggiring dokter melakukan tindakan2 irasional dalam meresepkan obat. Dari
faktor dokternya sendiri bisa saja sang dokter lupa alias khilaf, atau terlalu
sibuk dengan praktiknya sehingga tidak tau perkembangan terapi terkini (misal
di zaman dia kuliah dulu wajar saja kalau meresepkan antibiotik untuk
profilaksis – pencegahan), atau yang paling khusnuzon sih dokternya ada
kongkalikong sama pabrik obat tertentu. Nah, kalo dari faktor pasiennya, hal2
yang mendorong dokter menjadi irasional adalah pendapat sang orangtua sendiri
bahwa kalau sakit, dibawa ke dokter, ya pulangnya harus bawa obat. Kalo nggak
bawa obat nggak sah namanya. Kalo sampe kemudian anaknya dirasa nggak sembuh2
karena nggak dikasih obat, dokternya yang disalahkan. Dokter dianggap salah,
males deh dateng lagi ke sana. Praktik sang dokter jadi sepi. Daripada daripada
mendingan diresepin aja deh obat apa yang nggak berbahaya meskipun nggak
diperlukan. Vitamin kek.....Atau, orangtua panik setengah mati dan ngomel2 ke
dokternya. Mendorong dokter untuk jadi
ikut panik dan irasional.
Perlu sama-sama
kita sepakati bahwa dokter itu manusia juga. Bisa khilaf, bisa lupa, bisa punya
kepentingan2 pribadi....jadi, penting sekali buat pasien untuk tidak mendorong
dokter untuk melakukan hal2 yang irasional. Jadikan dokter sebagai mitra
sehingga anak kita nggak jadi korban. Gimana caranya?
Jika anak sakit,
misalnya demam tinggi nih...katakanlah 38,5 derajat celcius, kita sebagai
orangtua sudah harus punya bekal ilmu untuk mengatasinya sebelum terpikir untuk
dibawa ke dokter. Caranya mencari ilmu salah satunya yang paling gampang tentu
browsing di internet, tapi tentu saja karena begitu banyak sumber kita harus
cari yang kredibel. Salah satunya nih: mayoclinic.com. Kredibel dan bahasanya
gampang dicerna. Cara lainnya adalah bergabung dengan milis2 atau forum2 yang
kredibel juga, dengan begitu kita bisa bertanya dan dapat informasi, berbagi
pengalaman, sharing ilmu dst dst.
Bukan apa-apa,
banyak orangtua yang panik saat anaknya demam tinggi. Dan bukannya mencoba
menyamankan si anak yang tengah demam dan memberi cairan yang cukup supaya
nggak dehidrasi, malah heboh nyeret2 anak ke dokter spesialis anak yang
antriannya sampe 2-3 jam lebih saking ramenya pasiennya. Padahal, kalo demam
baru sehari, dokternya juga bisa kasih diagnosis apa ya? Paling observasi febris, yang berarti ya
diobservasi aja demamnya berlanjut apa nggak besoknya. Jadi, paling penting dalam menghadapi anak
sakit adalah JANGAN PANIK.
Iya sih, I know it’s
not that simple. Setelah punya anak saya mengerti dan paham benar betapa
sulitnya untuk nggak panik saat anak kita sakit. Oleh karena itu orangtua perlu
belajar kondisi2 apa yang dikategorikan harus segera ke dokter dan apa yang
bisa diobservasi dulu di rumah. Lalu tarik napas, tenangkan diri, kalo nggak panik
yakin deh bisa berpikir lebih jernih.
Baiklah, inti dari
postingan saya kali ini itu aja sih….mungkin nanti2 kita bisa ngobrol2 lebih
banyak lagi tentang RUM dari kedua kacamata ini. Ingat, jangan bebani anak kita
dengan obat2an yang tidak perlu dikonsumsi, karena setiap obat ada efek
sampingnya. Di sisi lain,
jangan terus nggak mau diobatin juga jika memang perlu. Yang penting kita tahu
indikasi dari obat2an tersebut. Berkomunikasilah dengan dokter, jika dokternya
nggak mau berkomunikasi carilah dokter lain yang bisa diajak berkomunikasi.
Dengan demikian, kita menjadi pasien yang smart, bukan hanya mau belajar untuk
tahu tentang penyakit anak kita, tapi juga mengajari dokter untuk lebih terbuka
dalam berkomunikasi.
Salam RUM.....
*Rini, a mother that also
happened to be a doctor*
link:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar