Minggu, 10 Februari 2013

DOKTER RUM vs PASIEN RUM


Rational Use of Medicine (RUM) atau Rational Use of Drugs (RUD), ada yang familiar dengan istilah ini? Saya pribadi sebagai seorang dokter tentunya familiar, tapi baru tahu kalo disingkat2 RUM sama RUD saat saya menjadi seorang ibu dan bergabung dengan sebuah milis yang isinya ibu2 semua, eh ada juga sih bapaknya tapi jarang….
Ternyata sekarang tren orangtua2 muda adalah mencari dokter yang RUM. Agak asing buat saya, karena selama ini pengalaman jadi dokter praktik ya di Puskesmas terpencil, pasien2 saya waktu itu boro2 mikirin RUM, dateng ke Puskes dalam keadaan  bersih kinclong aja jarang…..(but it’s another story , pemirsah).
Sebenernya, logically, dokter ya harus RUM. Waktu kuliah diajarin kok bahwa penggunaan obat harus rasional. Rasanya nggak masuk di akal deh, kalo sekolah kedokteran yang memakan waktu total 6-8 tahun itu nggak diajarin ilmu RUM sama sekali. Jadi kenapa pada praktiknya masih banyak dokter yang kasih resep seenaknya? Sudah tahu disebabkan virus, kok ya masih diresepkan antibiotik. Sudah tahu bisa sembuh sendiri, kok ya harus dan wajib dibekelin obat?
Banyak yang menggiring dokter melakukan tindakan2 irasional dalam meresepkan obat. Dari faktor dokternya sendiri bisa saja sang dokter lupa alias khilaf, atau terlalu sibuk dengan praktiknya sehingga tidak tau perkembangan terapi terkini (misal di zaman dia kuliah dulu wajar saja kalau meresepkan antibiotik untuk profilaksis – pencegahan), atau yang paling khusnuzon sih dokternya ada kongkalikong sama pabrik obat tertentu. Nah, kalo dari faktor pasiennya, hal2 yang mendorong dokter menjadi irasional adalah pendapat sang orangtua sendiri bahwa kalau sakit, dibawa ke dokter, ya pulangnya harus bawa obat. Kalo nggak bawa obat nggak sah namanya. Kalo sampe kemudian anaknya dirasa nggak sembuh2 karena nggak dikasih obat, dokternya yang disalahkan. Dokter dianggap salah, males deh dateng lagi ke sana. Praktik sang dokter jadi sepi. Daripada daripada mendingan diresepin aja deh obat apa yang nggak berbahaya meskipun nggak diperlukan. Vitamin kek.....Atau, orangtua panik setengah mati dan ngomel2 ke dokternya.  Mendorong dokter untuk jadi ikut panik dan irasional.
Perlu sama-sama kita sepakati bahwa dokter itu manusia juga. Bisa khilaf, bisa lupa, bisa punya kepentingan2 pribadi....jadi, penting sekali buat pasien untuk tidak mendorong dokter untuk melakukan hal2 yang irasional. Jadikan dokter sebagai mitra sehingga anak kita nggak jadi korban. Gimana caranya?
Jika anak sakit, misalnya demam tinggi nih...katakanlah 38,5 derajat celcius, kita sebagai orangtua sudah harus punya bekal ilmu untuk mengatasinya sebelum terpikir untuk dibawa ke dokter. Caranya mencari ilmu salah satunya yang paling gampang tentu browsing di internet, tapi tentu saja karena begitu banyak sumber kita harus cari yang kredibel. Salah satunya nih: mayoclinic.com. Kredibel dan bahasanya gampang dicerna. Cara lainnya adalah bergabung dengan milis2 atau forum2 yang kredibel juga, dengan begitu kita bisa bertanya dan dapat informasi, berbagi pengalaman, sharing ilmu dst dst.
Bukan apa-apa, banyak orangtua yang panik saat anaknya demam tinggi. Dan bukannya mencoba menyamankan si anak yang tengah demam dan memberi cairan yang cukup supaya nggak dehidrasi, malah heboh nyeret2 anak ke dokter spesialis anak yang antriannya sampe 2-3 jam lebih saking ramenya pasiennya. Padahal, kalo demam baru sehari, dokternya juga bisa kasih diagnosis apa ya? Paling observasi febris, yang berarti ya diobservasi aja demamnya berlanjut apa nggak besoknya. Jadi, paling penting dalam menghadapi anak sakit adalah JANGAN PANIK.
Iya sih, I know it’s not that simple. Setelah punya anak saya mengerti dan paham benar betapa sulitnya untuk nggak panik saat anak kita sakit. Oleh karena itu orangtua perlu belajar kondisi2 apa yang dikategorikan harus segera ke dokter dan apa yang bisa diobservasi dulu di rumah. Lalu tarik napas, tenangkan diri, kalo nggak panik yakin deh bisa berpikir lebih jernih.
Baiklah, inti dari postingan saya kali ini itu aja sih….mungkin nanti2 kita bisa ngobrol2 lebih banyak lagi tentang RUM dari kedua kacamata ini. Ingat, jangan bebani anak kita dengan obat2an yang tidak perlu dikonsumsi, karena setiap obat ada efek sampingnya. Di sisi lain, jangan terus nggak mau diobatin juga jika memang perlu. Yang penting kita tahu indikasi dari obat2an tersebut. Berkomunikasilah dengan dokter, jika dokternya nggak mau berkomunikasi carilah dokter lain yang bisa diajak berkomunikasi. Dengan demikian, kita menjadi pasien yang smart, bukan hanya mau belajar untuk tahu tentang penyakit anak kita, tapi juga mengajari dokter untuk lebih terbuka dalam berkomunikasi.

Salam RUM.....
*Rini, a mother that also happened to be a doctor*

link: